9/02/2013

Mencari Kebahagian

 
'Ada yang berpendapat mencari kebahagiaan itu ibarat mengutip serpihan kaca yang pecah. Ada yang berjaya mengutip dengan banyak dan ada yang megutip paling sedikit.Tapi tiada seorang pun yang berjaya mengutip kesemuanya. Kerana tatkala mengutipnya pasti ada yang terluka..'
 
Pernahkah kita bertanya dengan diri kita, adakah kita ini di antara orang yang bahagia? Mungkin ada di antara kita pada ketika ini memiliki harta yang melimpah ruah, tetapi tidak merasa bahagia. Ada pula yang memiliki kemasyhuran dan kedudukan yang tinggi, namun tidak pernah merasa bahagia.

Kalau begitu, ternyata ukuran bahagia itu tidak terletak pada banyaknya harta, bukannya pada jawatan dan kedudukan, bukan juga pada ketokohan seseorang dan juga bukan dengan peluang melancong ke merata tempat. Lalu, di manakah kebahagiaan itu, dan bagaimana pula kita dapat mengecapinya ?

Allah SWT berfirman:
 
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S.An-Nahl (16) : 97).

Telah jelas dan tegas penjelasan Allah SWT pada surat An-Nahl ayat 97 ini bahwa satu-satunya cara memperoleh kebahagiaan atau kehidupan yang baik itu adalah dengan mengerjakan amal-amal sholeh; iaitu taat pada suruhannya dan menjalankan segala perintah serta larangan-Nya.
 
Inilah konsep kebahagiaan yang hakiki; yaitu tujuan hidup kita di dunia ini, baik dalam belajar, bekerja, ataupun berusaha, hanya satu saja “Mendapatkan Redha Allah SWT"
 
 

Tentang Kematian


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Pertama-tama marilah kita panjatkan rasa syukur kita kepada Allah SWT, karena atas kehendak-Nya kita masih dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal’afiat. Shalawat dan salam kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Hadirin rahimakumullah,
Kematian adalah suatu kata yang tidak asing  ditelinga kita, akan tetapi dapat menggetarkan hati setiap insan yang bernyawa, Mengapa? Karna kematian merupakan suatu keniscayaan  yang akan dialami oleh setiap makhluk yang bernyawa. Entah dia seorang kaya atau seorang yang miskin, entah dia seorang yang muda atau yang tua, entah dia seorang pejabat tinggi maupun rakyat kecil. Pasti ia akan mengalami kematian.

Berkenaan dengan ini, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur an surat Ali-Imran ayat 185 yang artinya:" Sesungguhnya setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian dan sesungguhnya semua amalan akan disempurnakan diakhirat nanti ". Berkenaan dengan ayat tersebut, jelas sekali bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian.

Ada suatu riwayat, suatu ketika Rasul SAW ditanya oleh salah seorang sahabat:" Ya Rasulullah ketika engkau telah tiada maka kepada siapa lagi hamba meminta nasihat?". Rasul SAW menjawab: "Wahai sahabat sesungguhnya aku telah meninggalkan 2 nasehat kepada kamu; Nasehat yang pertama adalah nasehat yang berbicara dan nasehat yang kedua adalah nasehat yang diam". Lalu sahabat kemudian bertanya lagi kepada Rasul Saw: " Ya Rasulullah apakah nasehat Berbicara itu dan apakah nasehat yang diam itu ya Rasul". Rasulullah kemudian menjawab:" Wahai sahabatku, nasehat yang berbicara itu ialah Al-Quran dan yang diam itu adalah kematian ".
 
Rasulullah SAW pernah ditanya oleh salah seorang sahabat, "Ya Rasulullah siapakah orang yang paling berakal dan siapakah orang yang paling bijaksana?". Rasulullah SAW menjawab, “Orang yang paling berakal adalah orang yang paling banyak mengingat kematian. Sementara orang yang paling bijaksana adalah orang yang paling baik persiapannya. Dia akan mendapat kemuliaan di dunia dan akhirat.

Adapun hikmah dari adanya kematian adalah;
1. Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada satu  buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya. Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)."
   
2. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.
   
3. Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia, Kaya atau miskin, Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu. Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa.
   
4. Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuahkhayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini. Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
   
5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.

Hadirin yang dirahmati Allah, Ingatlah kematian itu begitu dekat dan sangatlah dekat. Maka dari itu saya mengingatkan kepada seluruh hadirn marilah kita jadikan kematian sebagai guru terbaik kita agar kelak datang waktunya kita dipanggil kita telah siap untuk menghadapnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kehendak Manusia Atau Kehendak Allah ?


Saya cuma ingin berkongsi pendapat tentang keutamaan hidup kita. Bagi saya dalam apa pun keputusan hidup kita, kita perlu membuat keutamaan berdasarkan apa yang kita fahami dalam hidup. Dan pilihan itu adalah berdasarkan apa yang kita fahami tentang tujuan hidup.

Antara dua pilihan atau lebih dari dua pilihan, pilihan yang mana lebih menguntungkan untuk membawa kita ke kehidupan yang lebih baik. Bagi kita ummat Islam tentunya berkaitan dengan hidup di akhirat kelak. Maka jika menyentuh tentang kehidupan akhirat tentunya kita mahukan syurga dan jika kita mahukan syurga, pastinya kita hanya mahukan REDHA ALLAH SWT.

Sebenarnya pilihan ini dibuat berdasarkan apa yang telah kita lalui. Pengalaman. Kemudian lihat pula sejauh mana ilmu kita boleh menilai pilihan itu. Kita perlu faham kenapa seseorang penjenayah memilih untuk membuat jenayah. Apakah mereka tidak tahu jenayah adalah satu kesalahan dan dosa? Tapi mereka tetap mahu lakukannya. Ini sangat berkait dengan cara kehidupan mereka. Siapa mereka berkawan dan apa yang mereke telah lalui? Dan semua itu adalah di luar pengetahuan saya.

Jadi dalam pilihan kita, apa jenis pilihan pun, kita perlu utamakan pilihan yang mendapat redha dari Allah. Pilihan yang tidak melanggar apa yang ditegah-Nya. Pilihan yang menjadikan kita lebih dekat dengannya.Selain dari itu adalah pilihan yang salah.

Dalam membuat pilihan sama ada untuk menjaga hati manusia atau menjaga Allah, tentulah kita perlu menjaga Allah.. walaupun terpaksa menyakitkan hati manusia. Tentulah agama melarang kita menyakiti sesama insan, tetapi yang manakah lebih penting? Redha Allah atau kesenangan hati manusia?

Dalam ketaatan kepada Ibu bapa, agama meletakkan sempadan dalam mentaati ibu bapa. Ketaatan yang boleh menyebabkan kita melanggar perintah Allah adalah dilarang. Maka seorang anak boleh ingkar jika ibu bapa mereka menyuruh melakukan kemungkaran. Seoarang anak wajib menolak permintaan yang melanggar perintah Allah secara baik dan sedaya upaya memperbetulkan keadaan itu, malah jika keadaan masih lagi di luar kawalannya, ambillah keputusan untuk tinggal berjauhan dan mohonlah pertolongan Allah. Allah pasti membantu hamba-Nya selalu mengutamakan perintah-Nya.

Jika seorang lelaki mengajak seorang wanita bercinta seperti yaang berlaku dalam kisah muda-mudi hari ini, wanita itu akhirnya termakan pujukan si lelaki kerana kasihan dan mahu menjaga hatinya. Adakah pilihan wanita itu betul? Adakah pilihan wanita itu selari dengan apa yang Allah mahu?

Akhirnya melahirkan perasaan yang lebih mendalam hingga boleh menjadikan wanita itu melanggar banyak lagi perintah. Adat orang bercinta berdua-duaan, samada secara realiti atau maya. Lumrah nafsu si lelaki akan meminta lebih lagi sebagai ‘bukti’ cinta. Si wanita akan menurut dengan alasan ingin menjaga hati. Namun jelas melanggar apa yang Allah mahu.

Tindakan wanita itu mungkin betul jika si lelaki benar-benar mahu mengahwininya pada masa terdekat. Jika tidak, hubungan cinta yang terlalu lama hanya membawa kemungkaran demi kemungkaran dan fitnah yang tidak akan disedari oleh si pelaku. Ini hanya disedari setelah perkara buruk berlaku. Ketika itu penyesalan adalah sia-sia.

Sememangnya banyak pilihan yang berlaku dalam hidup ini membuatkan kita buntu dan keliru dengan kepelbagaiannya. Namun jika kita membuat pilihan yang mengutamakan redha Allah, maka kita tidak mungkin rugi, lebih-lebih lagi di akhirat kelak. Banyak pilihan yang menyebabkan kita menyesal di kemudian hari dan sebenarnya kita telah menyedarinya ketika pilihan itu dibuat. Kerana kita berharap pilihan akibat pilihan itu adalah berlainan. Sebenarnya tidak.

Solat Tapi Hidup Tak Bahagia


Assalamualaikum w.b.t. Apa khabar sahabat semua? Semoga sentiasa dirahmati dan dikasihi Allah.

Sudahkah kita benar-benar menghadapkan diri dan kehidupan kita sepenuhnya kepada Allah? Berapa peratus? Seratus peratus? Lima puluh peratus? Atau baru sepuluh peratus?

Tahukah anda bagaimana mahu mengukur tahap anda menghadap kepada Allah? 

Mudah saja. Lihat sejauh mana anda menghadapkan diri kepada Allah sewaktu solat. Berapa peratuskan solat anda itu benar-benar sedar kepada Allah dan betul-betul menghadap kepada-Nya dan bukan menghadap kepada yang selain-Nya seperti kerja yang belum disiapkan, ikan di kuali atau kunci yang hilang.
Sebaik anda mengangkat takbiratul ihram, perhatikan kesedaran anda. Anda boleh berada dalam dua kesedaran, pertama kesedaran kepada Allah dan merasa dilihat Allah atau kesedaran nafs iaitu perkara-perkara berkaitan dunia dan hawa nafsu. Sekiranya kesedaran anda kepada Allah hanya sekitar sepuluh peratus sahaja dari keseluruhan solat itu, maka begitu jugalah sepuluh peratus sahaja anda menghadapkan diri dan kehidupan kepada Allah. Itulah cara mengukurnya kerana solat menggambarkan diri dan kehidupan anda.

Bayangkan di dalam sebuah kelas, sekiranya terdapat pelajar yang bercakap semasa guru bercakap, itu menunjukkan sikapnya yang sama di luar kelas iaitu tidak menghormati orang lain. Sikap kita di dalam solat sama dengan sikap kita di luar solat. Justeru, inilah rahsianya untuk kita mengubah sikap dan kehidupan kita kepada yang lebih baik. Iaitu dengan membaiki solat kita. Inilah latihan yang Allah sediakan.
Solat adalah suatu perbuatan yang dibuat berulang-ulang kali. Setiap perbuatan yang dibuat berulang kali akan menjadi perilaku atau sikap seseorang yang melakukan perbuatan itu. Justeru Allah mewajibkan hamba-Nya untuk solat dengan khusyuk iaitu dengan menghadapkan dirinya dengan penuh kepada Allah ketika solat. Inilah yang terungkap dalam Doa pembuka solat iaitu Doa Iftitah, “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku ke wajah Allah yang menciptakan langit dan bumi” dan kalimah seterusnya “Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya kerana Allah”.

Bayangkan sekiranya seseorang itu menghayati apa yang dibacanya dalam doa Iftitah ini, iaitu dengan melakukan apa yang dibaca bukan sekadar membaca tanpa sedar, pastinya ia akan berubah menjadi perilaku. Bagaimana dia benar-benar menghadapkan wajahnya kepada Allah ketika dia membaca doa Iftitah pastinya dia terlatih untuk menghadapkan diri dan kehidupannya hanya untuk Allah. Inilah rahsia solat yang khusyuk. Apabila seseorang berjaya untuk solat dengan khusyuk maka dia juga berjaya menghadapkan diri dan kehidupannya kepada Allah di luar solat. Dia juga akan berjaya mencegah perbuatan keji dan mungkar kerana dia sentiasa sedar akan Allah setiap waktu dan ketika. Firman Allah; “.. Sesungguhnya solat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar

Ramai umat Islam hari ini mempunyai masalah untuk solat dengan khusyuk. Apakah dan dimana puncanya masalah ini?

Pertamanya kerana tidak adanya ilmu bagaimana kaedahnya untuk khusyuk di dalam solat. Dari kecil, kita diajar dengan lengkap rukun-rukun dan sunat-sunat solat, kita diajar apa yang membatalkan solat tapi jarang sekali yang mengajar bagaimana untuk khusyuk dengan solat. Justeru, ilmu untuk solat dengan khusyuk tersangatlah penting agar solat kita menjadi solat yang khusyuk dan menghadapkan diri kepada Allah. Barulah hidup kita akan betul menghadap kepada Allah dan tidak selain-Nya. Dengan itu benarlah kalimah syahadah yang kita ucapkan bahawa tidak ada Tuhan lain yang kita hadapkan wajah kita selain Allah; tidak menghadap kepada wang dan harta, tidak menghadap kepada pangkat dan kemasyhuran yang dengan itu kita telah mensyirikkan Allah.

Keduanya, setelah kita belajar solat dengan khusyuk, mengapa kita masih mempunyai masalah untuk khusyuk? Ini adalah kerana dalam diri kita ada nafs (hawa nafsu) yang sering mengajak kepada kejahatan. Diri kita masih mempunyai banyak keinginan yang berkaitan dengan dunia.

Justeru ketika kita mahu menghadapkan diri kepada Allah di dalam solat, keinginan-keinginan dunia dari hawa nafsu akan menarik kesedaran terhadap Allah dan membawa kita kesedaran dunia dan isinya. Justeru solat kita menjadi tidak khusyuk kerana jiwa tidak menghadap kepada Allah tetapi kepada selain-Nya. Bagaimana untuk menghadapi masalah ini?

Allah sudah menyiapkan senjata untuk kita menawan hawa nafsu kita agar dia menjadi lemah dan tidak mampu untuk menarik perhatian kita dari Allah. Senjata itu adalah Puasa.

Hawa Nafsu kita berasal dari dorongan jasad kita. Puasa melemahkan jasad dan secara otomatisnya melemahkan dorongan untuk membesarkan hawa nafsu. Justeru latihan 30 hari di bulan Ramadhan adalah senjata yang sangat hebat untuk menawan hawa nafsu itu. Bayangkan setiap hari kita melemahkan jasad dan dorongannya. InsyaAllah di akhir bulan Ramadhan, kita akan berjaya menawan hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan itu dan akhirnya berjaya solat dengan khusyuk dan menghadapkan secara penuh kepada Allah. Justeru kembalilah kita kepada Allah dalam keadaan suci dan itulah sebab kita sering mendengar ungkapan “kembalilah ke fitrah yang suci” di bulan Ramadhan.

Allah memberikan kita senjata yang kedua untuk benar-benar menawan hawa nafsu kita. Senjata yang kedua adalah zakat. Di dalam bulan Ramadhan kita digalakkan berzakat atau bersedekah. Memberi yang digalakkan Allah adalah memberi sesuatu yang dicintai. Contohnya seorang yang mempunyai banyak kambing, haruslah memilih kambing yang terbaik untuk disedekahkan. Mengeluarkan atau memberi harta yang dicintai ini akan membebaskan kita dari ikatan kecintaan harta dan dunia yang sering menarik kesedaran kita dari kesedaran ke Allah kepada kesedaran dunia dan isinya. Justeru dengan senjata yang kedua ini, kita akan lebih mudah untuk solat dengan khusyuk.

Apa jadi selepas bulan Ramadhan? Senjata sudah tidak digunakan lagi?

Pastinya kita memerlukan senjata ini setiap waktu dan ketika kerana kita harus menghadapkan diri dan kehidupan kita kepada Allah setiap bulan dan bukan hanya di bulan Ramadhan. Allah menggalakkan hamba-Nya untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal. 

Justeru sebaiknya cubalah berpuasa enam hari berturut-turut agar dapat manfaat seperti bulan Ramadhan di mana kita benar-benar memerangi hawa nafsu yang cuba membesar dengan ‘open house’ di bulan Syawal. Jangan lupa untuk menggunakan juga senjata yang kedua iaitu zakat atau sedekah ketika kita berpuasa enam itu.

Apa yang berlaku selepas puasa enam? Rasulullah mengajar kita untuk berpuasa sunat Isnin dan Khamis. Puasa itu senjata yang tidak harus ditinggalkan. Justeru untuk memastikan kita mampu untuk sentiasa solat dengan khusyuk di mana kesedaran kita ke Allah berjaya dipertahankan (kerana hawa nafsu yang menarik kesedaran itu sudah berjaya dilemahkan dan ditawan) maka kita harus sentiasa menggunakan senjata Puasa ini secara berterusan.

Jangan lupa juga untuk keluarkan zakat atau bersedekah apabila melakukan Puasa Sunat Isnin dan Khamis. InsyaAllah kita dapat menghidupkan suasana Ramadhan setiap minggu; Isnin, Khamis berpuasa, Jumaat kita raya (ada khutbah Jumaat) dan jangan lupa bila ke Masjid untuk solat berjamaah, hulurkan wang yang kita cintai untuk jalan Allah atau kepada sesiapa yang memerlukan. Justeru orang Islam itu bersedekah setiap minggu.

Inilah rahsia hebat yang sering kita terlepas pandang. Solat, Puasa dan Zakat hanya jadi rutin beragama yang dilaksanakan tanpa memahaminya. Justeru di bulan Ramadhan yang sewajarnya bulan menawan hawa nafsu jadi bulan yang paling kuat membesarkan hawa nafsu, hawa nafsu makan semasa berbuka, hawa nafsu menukar perabot rumah, memberi emas, membeli langsir dan sebagainya. Jadilah Puasa kita itu hanya sekadar lapar dan dahaga yang disebutkan oleh Rasululah.

Dengan Ilmu solat dengan khusyuk dan dua senjata hebat, Puasa dan Zakat, insyaAllah kita akan mampu Solat dengan benar-benar menghadapkan wajah kita kepada Allah sepenuhnya. Justeru, begitulah juga kita di luar solat, insyaAllah benar-benar mampu menghadapkan diri dan kehidupan kita kepada Allah dan menjadikan hidup dan mati kita hanya untuk Allah. Inilah erti Kalimah Syahadah yang kita sebutkan. Barulah kita dikatakan telah menyempurnakan Syahadah kita.

Rumusannya, Solat adalah cermin diri dan kehidupan kita. Bagaimana kita solat, itulah diri dan kehidupan kita. Itulah sebab kenapa Solat adalah soalan yang pertama ditanya oleh Allah bila kita kembali menghadap-Nya satu hari nanti. Baik solat kita, baiklah kehidupan kita dan masuklah kita ke Syurga yang disediakan untuk orang-orang yang menjaga solatnya.

Belajarlah Solat dengan Khusyuk, rajinlah berpuasa dan lepaskanlah ikatan kecintaan kepada dunia dengan sering bersedekah dan berinfaq di jalan-Nya. Semoga kita dipanggil pulang oleh Allah sebagai jiwa yang tenang dan berjaya memasuki Wilayah Nafsul Mutmainnah yang didiami oleh ruh para kekasih Allah. Amin Ya Allah.

Firmah Allah yang bermaksud: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan puas lagi diredhaiNya, Masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu” (Al-Balad: 27-30)

Kaya Harta Dan Kaya Ilmu


Hadith :
 
Diriwayatkan daripada Abdullah bin Mas’ud r.a katanya: “Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :" Janganlah ingin menjadi seperti orang lain kecuali seperti dua orang ini. Pertama, orang yang diberi Allah kekayaan berlimpah ruah dan ia membelanjakannya secara benar (di jalan yang adil dan sesuai dengan perintah Allah). Kedua, orang yang diberi Allah al-hikmah dan ia berperangai sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain." (al-Bukhari)


Huraian:

 
Setiap perbuatan ada matlamatnya masing-masing. Tetapi apa yang kita inginkan dalam hidup ini? Ilmu, wang atau selainnya? Perumpamaan orang yang kaya harta dan menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir terdapat seratus biji. Hakikatnya, kaya dan miskin akan menguji tahap keimanan seseorang. Tidak semestinya yang kaya kurang imannya dan yang miskin pula kuat imannya atau sebaliknya. Jika direnung manakah yang lebih utama, ilmu atau harta? Tentu sekali ilmu kerana seperti kata sayidina Ali: "Ilmu akan menjaga diri mu, sementara harta adalah sebaliknya, kamu yang harus menjaganya." Namun alangkah baiknya jika kita kaya kedua-duanya. Kaya harta dan kaya ilmu kerana kedua-dua mampu menaikkan kedudukan kita bukan sahaja di sisi manusia bahkan di sisi Allah SWT iaitu dengan cara memanfaatkan kurniaan Allah itu ke jalan yang diredhai-Nya.


Saidatina Aisyah Ilmuwan Wanita Terunggul


Kisah hidup Saidatina Aisyah r.a. telah membuktikan bahawa wanita mampu menguasai bidang keilmuan mengatasi kaum lelaki serta mampu menjadi pendidik kepada para ilmuan dan pakar-pakar pelbagai bidang. Kehidupan beliau juga menjadi bukti kemampuan wanita dalam mempengaruhi pandangan masyarakat, baik lelaki mahupun perempuan, serta membekalkan sumber inspirasi and kepimpinan yang mantap. Wanita yang kaya dengan pekerti tinggi,lemah lembut serta sopan santun ini juga telah membawa kebahagiaan dan ketenangan hati yang tidak putus kepada suaminya.
Saidatina Aisyah r.a. bukan seorang graduan dari mana-mana universiti memandangkan belum wujud lagi institusi sedemikian pada ketika hayat beliau seperti yang ada sekarang. Namun begitu, lafaz ucapan beliau menjadi bahan kajian dalam bidang sastera, fatwa- fatwa syariah yang beliau keluarkan dikaji di institusi-instusi perundangan, hidup dan hasil pengkajian beliau diteliti oleh para mahasiswa dan pendidik dalam pengkajian sejarah Islam sejak seribu tahun yang lalu.
Khazanah pengetahuan yang dimiliki Saidatina Aisyah r.a. diperoleh sejak beliau masih seorang kanak-kanak. Pada usia mudanya, Aisyah r.a. dibesarkan oleh bapanya, seorang Muslim yang dihormati dan disegani ramai lantaran ketinggian ilmunya, kelembutan budi pekertinya serta peribadinya yang disegangi ramai. Tambahan pula, beliau sahabat yang paling rapat dengan Rasulullah s.a.w. serta merupakan pengunjung setia ke rumah Rasulullah s.a.w. sejak zaman awal kerasulan baginda.
Semenjak beliau muda, Aisyah r.a. yang terkenal dengan paras rupanya yang menawan serta daya ingatan yang kuat, diletakkan di bawah jagaan Rasulullah s.a.w. sendiri. Sebagai isteri serta pendamping baginda Rasulullah, Aisyah r.a. berpeluang menimba ilmu pengetahuan dari baginda sehingga ke tahap yang tidak mungkin ditandingi oleh wanita-wanita lain.
Aisyah r.a. menjadi isteri Rasulullah s.a.w. di Mekah di sekitar usia beliau mencecah sepuluh tahun, namun hanya mula menjalankan tanggungjawab sebagai seorang isteri setelah tahun kedua Hijrah, iaitu ketika usia beliau sekitar empatbelas hingga limabelas tahun. Pada waktu sebelum dan selepas pernikahan beliau, Aisyah r.a. tetap mempamerkan kegirangan serta sifat semulajadi seorang kanak-kanak. Beliau seidkit pun tidak teruja dengan statusnya sebagai isteri kepada seorang Nabi Allah yang begitu disanjungi dan dikasihi oleh para sahabat. Ini termasuklah kedua ibubapa Aisyah sendiri yang menumpukan sepenuh kasih saying serta hormat mereka kepada Rasulullah s.a.w. berbanding orang lain.
Berkenaan pernikahan beliau kepada Rasulullah s.a.w., Aisyah r.a. menceritakan, sejurus sebelum beliau ditetapkan meninggalkan rumahnya, beliau telah keluar ke halaman rumah untuk bermain-main dengan rakannya yang sedang berlalu di situ:“Aku sendang bermain di atas jungkang-jungkit dan rambutku yang panjang telah menjadi kusut” kata beliau. “Mereka datang mendapatkan ku dari permainan ku lalu menyiapkan ku.”

Saidatina Aisyah r.a. dipakaikan pakaian pengantinnya yang diperbuat dari sutera halus berjalur merah dari Bahrain. Seterusnya beliau dibawa oleh ibunya ke rumahnya yang baru siap dibina serta disambut oleh wanita-wanita Ansar di muka pintu. Mereka manyambutnya dengan ucapan “Demi kebaikan dan kebahagiaan dan semoga diiringi kesenangan.” Dalam kehadiran baginda Rasulullah yang sedang tersenyum lembut, semangkuk susu dibawa kepada mereka. Rasulullah s.a.w. minum darinya lalu memberikan susu itu kepada Aisyah. Aisyah dengan segan silu menolak pelawaan Rasulullah itu. Namun apabila Rasulullah sekali lagi menyuruh Aisyah minum dari semangkuk susu itu, Aisyah pun berbuat demikian. Seterusnya mangkuk itu diberikan kepada kakak beliau, Asma, yang berada di sisinya serta diedarkan kepada mereka yang hadir di situ. Itulah keraian yang menandai pernikahan baginda Rasulullah dengan saidatina Aisyah yang dijalankan dalam penuh kesederhanaan.

Status beliau sebagai isteri Rasulullah s.a.w. tidak merubah sifat riang Aisyah sebagai seorang kanak-kanak. Rakan-rakan beliau sering berkunjung ke rumah untuk bermain-main dengannya.

‘Sedang aku bermain dengan permainanku,’cerita Saidatina Aisyah r.a.,’bersamaku ada kawan-kawanku, dan datang baginda Rasulullah kepadaku, lalu mereka akan keluar meninggalkanku, akan tetapi Rasulullah keluar mendapatkan rakan-rakanku itu dan membawa mereka kembali kerana baginda senang denganku bermain dengan mereka.’ ‘Kadangkala baginda berkata, “Tinggal di situ, wahai Aisyah,” dan sebelum sempat rakan-rakanku meninggalkanku, baginda akan turut serta dalam permainan kami’. Kata Aisyah r.a. ‘Suatu hari, baginda Rasulullah datang ketika aku sedang bermain-main dengan anak patungku, dan baginda berkata, “Wahai Aisyah, permainan apakah ini?” “Inilah kuda-kuda Sulaiman,” kata ku dan baginda pun tertawa.’ Ada ketika apabila baginda pulang ketika Aisyah sedang bermain dengan rakan-rakannya, baginda Rasulullah akan berselindung di sebalik jubahnya agar tidak mengganggu Aisyah dan rakan-rakan beliau yang sedang bermain.

Detik-detik awal kehidupan Aisyah r.a. di Madinah turut melalui saat-saat yang mencabar. Pada suatu ketika, bapa beliau bersama dua orang sahabat yang tinggal bersamanya ketika itu telah diserang demam panas yang sering melanda Madinah pada musim-musim tertentu. Ketika Aisyah menziarahi bapanya, beliau terkejut melihat ketia-tiga orang lelaki itu sedang terlantar dalam keadaan tenat dan lemah. Aisyah bertanyakan khabar bapanya itu namun jawapan yang diberi bapa beliau tidak dapat difahami. Dua orang sahabat yang sedang tenat itu juga mengeluarkan baris-baris puisi yang difikirkan Aisyah hanyalah ratapan seorang yang sedang sakit tenat. Saidatina Aisyah berasa gusar lalu pulang menceritakan peristiwa itu kepada baginda Rasulullah s.a.w.:

‘Mereka maracau-racau, tidak keruan, disebabkan demam panas itu,’ Kemudian Rasulullah bertanya kepada Aisyah apa yang diperkatakan oleh bapanya serta dua orang sahabat yang sedang sakit tadi. Baginda berasa lega setelah Aisyah mengulangi setiap apa yang dikatakan oleh mereka walaupun kata-kata itu belum mampu difahami oleh Aisyah sendiri. Peristiwa ini menggambarkan daya ingatan Aisyah yang begitu kuat yang bakal memainkan peranan penting dalam meriwayatkan hadith-hadith baginda Rasulullah s.a.w.

Di kalangan isteri-isteri baginda di Madinah, Aisyah nyata sekali merupakan kesayangan Rasulullah s.a.w. Dari masa ke semasa, salah seorang sahabat baginda akan bertanya,:

‘Wahai Rasulullah, siapakah yang paling kau sayangi di dunia ini?’ Jawab baginda sering berbeza-beza kerana baginda begitu mengasihi anak-anak serta cucu-cucunya, sahabat baginda Abu Bakar, Ali, Zaid serta anak beliau Usamah. Namun di kalangan isteri baginda yand sering disebut hanyalah Aisyah. Aisyah sendiri begitu mengasihi baginda Rasulullah serta sering meminta kepastian tentang kasih baginda terhadapnya. Pernah suatu ketika Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah, ‘Bagaimanakah kasihmu terhadapku?’

‘Seperti ikatan simpulan tali,’ jawab baginda yang bermaksud kasihnya itu kuat dan kukuh. Lalu pada waktu-waktu seterusnya Saidatina Aisyah r.a. akan bertanya kepada Rasulullah, ‘Bagaimana keadaan simpulan itu?’ dan jawab baginda ‘Demi Allah, masih sama (kukuh)’.

Begitu kasihnya Aisyah kepada baginda Rasulullah sehinggakan lahir rasa cemburu dan tidak berpuas hati sekiranya perhatian Rasulullah dicurahkan kepada orang lain melebihi dirinya sendiri. Aisyah bertanya kepada baginda,:

‘Wahai Rasul Allah, katakan sendiri padaku. Sekiranya engkau berada di antara dua lembah, yang satunya tidak pernah diragut rumputnya sedangkan yang satu lagi sudah pernah diragut rumputnya, dimanakah akan engkau lepaskan ternakkanmu?’

‘Di lembah yang rumputnya belum pernah diragut,’ jawab Rasulullah. ‘Namun begitu,’kata beliau ‘aku tidaklah seperti isteri-isterimu yang lain. Setiap orang dari mereka pernah mempunyai suami yang lain sebelum mu kecuali diriku.’ Rasulullah hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Cerita Aisyah lagi tentang sikap cemburunya itu:

‘Aku tidak mencemburui isteri-isteri Rasulullah yang lain sebagaimana aku mencemburui Khadijah, disebabkan baginda sering menyebut-nyebut nama Khadijah serta telah diperintahkan Allah untuk menyampaikan berita gembira kepada Khadijah tentang mahligainya di syurga yang bertatahkan permata. Setiap kali baginda Rasulullah membuat sembelihan, pasti akan diberikan sebahagian daripada daging sembelihan itu kepada teman-teman rapat Khadijah. Berkali-kali pernah ku katakan kepada baginda, “Seolah-olah tidak pernah ada wanita lain di dunia in selain Khadijah,”

Pernah suatu ketika Aisyah mengadu tentang sikap Rasulullah yang begitu memandang tinggi terhadap ‘seorang wanita tua Quraisy’, baginda berasa tersinggung lalu berkata: ‘Dialah isteri yang mempercayai diriku sedangkan orang lain menafikan diriku. Sedangkan orang lain mendustai ku, dia meyakinkan kebenaranku. Sedang aku dipulaukan, dia membelanjakan segala harta kekayaannya untuk meringankan beban sengsara ku.’

Walaupun Aisyah memiliki sifat cemburu yang sebenarnya tidak membawa kepada keburukan, beliau sesungguhnya seorang yang amat pemurah dan penyabar. Beliau mengharungi kehidupan yang serba kekurangan bersama isteri-isteri Rasulullah yang lain. Beliau tidak betah hidup tanpa sesuap makanan pun dalam jangka waktu yang panjang. Berhari-hari lamanya dapur rumah beliau tidak berasap dan beliau hidup bersama Rasulullah di atas buah tamar dan air semata-mata. Hidupnya yang miskin tidak membawa sebarang tekanan atau memalukan Aisyah r.a.; hidup berdikari tidak mengganggu cara hidup beliau walau sedikit pun.

Pernah suatu ketika, Rasulullah telah memutuskan perhubungan dengan isteri-isteri baginda sehingga sebulan lamanya. Ini disebabkan mereka meminta sesuatu yang Rasulullah tidak mampu berikan. Peristiwa ini berlaku selepas peperangan di Khaibar dimana kemenangan umat Islam membawa harta rampasan serta membuahkan keinginan terhadap harta kekayaan. Setelah kembali dari beruzlah, baginda Rasulullah pertama sekali menuju ke rumah Aisyah. Beliau begitu gembira melihat baginda telah kembali, namun Rasulullah mengkhabarkan kepadanya tentang penerimaan wahyu yang menyuruh baginda memberikan Aisyah dua pilihan. Baginda seterusnya membacakan ayat :

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” (al-Ahzab 28-29)

Jawab Aisyah:

‘Sesungguhnya aku memilih Allah dan RasulNya dan kehidupan di akhirat,’ dan jawabnya itu disetujui isteri-isteri baginda yang lain.

Beliau setia terhadap pilihannya itu sepanjang hidupnya bersama Rasulullah dan begitu juga setelah kewafatan baginda. Apabila umat Islam dilimpahi harta kekayaan yang banyak, beliau pernah dihadiahkan seratus ribu dirham. Walaupun ketika itu beliau sedang berpuasa dan hidup dalam kekurangan, seluruh pemberian itu disedekahkan kepada fakir miskin. Sejurus selepas itu, seorang pembantu rumahnya bertanya, ‘Bolehkan engkau menggunakan satu dirham untuk membeli daging buat berbuka puasa?’

‘Jika aku terfikirkan hal ini tadi, pasti aku sudah melakukannya,’ jawab Aisyah r.a. Kasih sayang Rasulullah terhadap Aisyah berkekalan sehingga akhir hayat baginda. Ketika baginda sedang nazak, baginda telah pulang ke rumah Aisyah atas izinisteri-isteri baginda yang lain. Kebanyakan masa baginda hanya terlantar di katil dengan kepala baginda di atas pangkuan Aisyah. Saiditina Aisyah telah meminta kayu siwak dari abangnya (or adik lelaki?) serta mengunyah kayu siwak itu untuk melembutkannya lalu diberikan kepada Rasulullah. Walaupun sudah berkeadaan tenat, baginda menggosok gigi baginda dengan bersungguh-sungguh. Tidak lama kemudian, baginda jatuh pengsan dan tidak sedarkan diri dan Aisyah melihat itu adalah tanda-tanda ajal baginda telah sampai. Namun sejam kemudian, baginda kembali membuka mata.

Aisyahlah yang menyaksikan dan menyampaikan kisah saat-saat akhir sebelum kewafatan insan mulia ini, kekasih Allah moga dilimpahi rahmatNya.

Setelah baginda sedar kembali, Aisyah mengingati Izrail telah berkata kepadanya: ‘Tidak seorang Nabi itu diambil nyawanya melainkan dia telah ditunjukkan tempatnya di syurga serta diberikan pilihan samada untuk hidup atau mati,’

‘Baginda tidak akan memilih untuk bersama kita,’ kata Aisyah pada dirinya. Kemudian Aisyah terdengar baginda berkata, ‘Demi pertemuan agung di syurga, demi hamba-hambanya yang dilimpahi rahmatNya, para Nabi, para syuhada’ dan orang-orang yang beriman….’ Dan sekali lagi beliau terdengar baginda berkata ‘ya Tuhanku, demi pertemuan agung di syurga…’ Inilah kata-kata terakhir baginda yang didengar oleh Saidatina Aisyah r.a. Sedikit demi sedikit, kepala Rasulullah semakin berat di pangkuan Aisyah, sehinggalah sahabat-sahabat yang lain mula menitiskan air mata. Lalu Aisyah meletakkan kepala Rasulullah di atas bantal dan turut serta menangisi permergian baginda.

Di lantai rumah Aisyah, berhampiran tempat pembaringan Rasulullah ketika baginda sedang nazak, sebuah kubur digali dan di situlah bersemadi jasad penutup segala Nabi, di kala umatnya sedang dalam kegelisahan dan kesedihan yang mendalam.

Aisyah hidup selama hampir lima puluh tahun setelah kewafatan Rasulullah s.a.w. Sepuluh tahun hidup beliau sebagai isteri Rasululluah. Sebahagian besar waktu itu diluangkan dengan mempelajari dua sumber penting petunjuk Allah, iaitu al-Quran dan sunnah Rasulullah. Tiga orang daripada isteri-isteri Rasulullah yang menghafaz al-Quran, dan salah seorang daripadanya adalah Aisyah r.a.(di samping Ummu Salamah dan Hafsah). Seperti Hafsah, Aisyah juga mempunyai salinan al-Quran yang ditulis setelah kewafatan Rasulullah.

Berkenaan dengan hadith baginda Rasulullah, Aisyah merupakan salah seorang daripada empat orang sahabat (termasuk Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar dan Anas Ibn Malik) yang meriwayatkan lebih dua ribu hadith. Kebanyakan hadith-hadith ini berkaitan amalan-amalan peribadi Rasulullah yang hanya mampu diketahui oleh Aisyah r.a. Satu aspek penting berkenaan hadith yang diriwayatkan Aisyah ialah hadith-hadith tersebut disampaikan dalam bentuk tulisan oleh, antara lainnya, anak saudara beliau, Urwah ibn az-Zubair yang merupakan salah seorang ulama’ terkenal di kalangan tabi’in.

Ramai di kalangan sahabat Rasulullah dan pengikut-pengikut mereka yang menimba dari ilmu pengetahuan Aisyah r.a. Abu Musa al’Ashari pernah berkata: ‘Sekiranya kami di kalangan sahabat Rasulullah menghadapi kemusykilan, maka akan kami bawa kepada Saidatina Aisyah r.a.’

Urwah ibn az-Zubair menegaskan bahawa Aisyah bukan sahaja arif dalam bidang fiqh, bahkan juga dalam bidang tibb(perubatan) dan syair. Ramai di kalangan sahabat baginda Rasulullah turut merujuk kepada Aisyah berkenaan masalah pewarisan harta yang memerlukan kemahiran tinggi dalam bidang matematik. Para ulama menganggap Saidatina Aisyah sebagai salah seorang ahli fuqaha Islam terawal di samping Umar Ibn al-Khattab, Ali dan Abdullah ibn Abbas. Kata baginda Rasulullah tentang dalamnya pengetahuan Aisyah dalam Islam; ‘Pelajarilah sebahagian daripada agamamu dari al-Humaira’,’Al-Humaira, atau ‘si merah’ adalah nama panggilan Rasulullah kepada Saidatina Aisyah r.a.

Saidatina Aisyah r.a. bukan sahaja memiliki ketinggian ilmu pengetahuan, bahkan turut memainkan peranan penting dalam proses pendidikan dan pembentukan masyarakat ketika itu. Sebagai seorang guru, beliau memiliki lisan yang jelas dan menarik hati serta kelancaran bertutur kata beliau digambarkan dengan begitu tinggi oleh al-Ahnaf: ‘Aku pernah mendengar ucapan dari Abu Bakar dan Umar, dari Uthman dan Ali serta para khulafa’ hingga ke hari ini, tetapi belum pernah aku mendengar ucapan yang lebih indah dan lebih menarik hati dari mulut seorang pun melainkan Aisyah r.a.’

Manusia dari segenap pelusuk tanah Arab telah pergi menemui Aisyah untuk mempelajari ilmu yang dimilikinya. Dikatakan lebih ramai bilangan wanita daripada lelaki yang datang untuk menimba ilmu daripada beliau. Di samping menjelaskan kemusykilan orang ramai, beliau turut mengambil anak-anak kecil, ada di kalangan mereka yatim piatu, untuk dibesarkan dan dilatih di bawah bimbingannya sendiri. Di samping itu juga terdapat saudara-saudara beliau yang mendapat bimbingan yang sama. Dengan demikian, rumah Saidatina Aisyah r.a. dijadikan sekolah dan sebuah institusi pengajian.

Ada di kalangan anak-anak didikan Aisyah yang cemerlang di bawah pimpinan beliau. Sudah disebut sebelum ini tentang anak saudara lelaki beliau iaitu Urwah ibn az-Zubair sebagai salah seorang perawi hadith terkemuka. Di antara pelajar wanita didikan Aisyah ialah Umrah binti Abdur Rahman. Umrah dianggap oleh para ulama’ sebagai seorang perawi hadith yang thiqah dan dikatakan bertindak sebagai setiausaha Aisyah r.a dalam menerima dan menjawab surat-surat yang diterima Aisyah. Peranan Aisyah dalam menggerakkan proses pendidikan terutamanya bagi kaum wanita seharusnya dijadikan contoh ikutan.

Selepas Khadijah al-Kubra (yang hebat) dan Fatimah az-Zahra (yang menawan), Aisyah as-Siddiqah (yang membenarkan) dianggap sebagai wanita terbaik dalam Islam. Dari keteguhan peribadinya, beliau menjadi seorang pakar dalam setiap bidang pengetahuan, dalam masyarakat, politik bahkan peperangan. Beliau sering menyesali penglibatannya dalam peperangan namun dibarkahi dengan umur yang panjang berpeluang membetulkan kedudukannya sebagai wanita paling dihormati sewaktu hayatnya. Beliau kembali ke rahmatullah dalam bulan Ramadhan pada tahun kelima puluh lapan selepas Hijrah. Atas arahan beliau sendiri, jasadnya disemadikan di Jannat al-Baqi di Madinah al-Munawwarah, di kalangan sahabat baginda Rasulullah s.a.w.

Kemuliaan Dan Kedudukan Ibu Dalam Islam


Sejarah tidak pernah mengenal agama atau aturan apa pun yang memuliakan dan mengangkat derajat serta kedudukan perempuan sebagai seorang ibu sedemikian tinggi, selain Islam. Perintah Allah untuk berbuat baik kepada ibu datang segera setelah perintah-Nya untuk bertauhid dan menyembah-Nya. Islam mejadikan berbakti kepada ibu sebagai salah satu pangkal pokok kebaikan dan menjadikan hak ibu lebih besar ketimbang bapak. Hak ibu lebih besar daripada bapak karena ibu menanggung beban berat saat mengandung, melahirkan, menyusui dan mendidik anak. Hal ini ditegaskan al-Qur`an dan diulanginya pada lebih dari satu surat agar para anak memerhatikan dan mencamkannya di jiwa dan hati mereka.

Firman-Nya:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu
(QS Luqmân/31: 14).

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan
(QS al-Ahqâf/46: 15).

Seorang laki-laki datang menemui Nabi Saw. dan bertanya:


“Ya Rasulullah,

siapakah yang paling berhak mendapat perlakuan baikku?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Bapakmu” (HR Bukhârî).

Berbuat baik pada ibu meliputi antara lain memperlakukannya dengan baik, menghormati, merendahkan diri, menaati selain dalam maksiat, dan meminta ridhanya dalam segala urusan. Bahkan dalam berjihad, jika jihadnya fardu kifayah, haruslah atas seizin ibu. Berbakti pada ibu juga merupakan jihad.


Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata:


“Ya Rasulullah, aku ingin berperang. Aku datang untuk meminta nasihatmu.” Beliau bertanya: “Kamu masih punya ibu?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Berbaktilah kepadanya. Sesungguhnya surga berada di kedua kakinya” (HR al-Nasâ`î).


Beberapa ajaran pra-Islam mengabaikan posisi dan kemuliaan ibu. Lalu Islam datang dengan seperangkat ajaran yang memuliakan serta menjunjung tinggi martabat dan kedudukan ibu. Bukan hanya ibu; bibi—baik bibi dari pihak ayah maupun dari pihak ibu—pun dimuliakan Islam begitu rupa. Seorang laki-laki mendatangi Nabi Saw. dan berkata:


“Aku telah melakukan dosa besar. Adakah kesempatan bagiku bertobat?” Nabi Saw. bersabda: “Apakah kamu masih punya ibu?” Ia menjawab: “Tidak.” Nabi bertanya lagi: “Apakah kamu masih punya
khâlah (bibi dari pihak ibu)?” Ia menjawab: “Ya.” Nabi bersabda: “Maka berbuat baiklah kepadanya” (HR. Tirmidzî).

Dalam hal ini, di antara ajaran Islam paling mengagumkan adalah bahwa Islam tetap menyuruh berbuat baik kepada ibu walaupun ia seorang musyrik. Asmâ` bint Abi Bakr bertanya kepada Nabi Saw. tentang bagaimana ia berhubungan dengan ibunya yang musyrik. Nabi Saw. berkata padanya:


“Ya, tetaplah berhubungan dengan ibumu” (HR Muslim).


Di antara perhatian serta penghargaan Islam terhadap ibu dan hak-haknya adalah bahwa ia menjadikan ibu lebih berhak atas pengasuhan anak-anaknya daripada ayah. Seorang perempuan berkata kepada Rasulullah Saw.:


“Ya Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, dulu di perutku ia hidup, dari payudaraku ia menetek, dan di punggungku ia kugendong. Kemudian bapaknya menceraikanku dan bermaksud merebutnya dariku.” Nabi Saw. berkata padanya: “Kamu lebih berhak atas anakmu itu selama kamu belum menikah”

(HR Abû Dâwud). 

‘Umar dan istri yang diceraikannya mengadu kepada Abû Bakar tentang anak mereka, ‘Âshim. Abû Bakar pun memutuskan bahwa ‘Âshim jatuh ke tangan ibunya. Kepada ‘Umar, Abû Bakar berkata: “Aroma mantan isterimu, penciumannya, dan kata-katanya lebih baik untuk anakmu daripada kamu.” Kekerabatan ibu lebih dekat dan lebih utama dari bapak dalam hal kepengasuhan anak.


Al-Qur`an mengabadikan beberapa nama ibu salehah sebagai pelajaran dan arahan bagi kaum Mukmin. Bagi pembinaan iman, kisah mereka memiliki pengaruh yang cukup signifikan.


Ada ibunda Nabi Mûsâ yang memenuhi petunjuk Allah lewat ilham untuk menghanyutkan anaknya, belahan jiwanya, ke sungai Nil. Ia yakin seutuhnya akan janji Tuhan yang akan mengembalikan anaknya.


Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul”
(QS al-Qashash/28: 7).

Ada ibunda Siti Maryam yang menazarkan janin di rahimnya untuk Allah. Dia berdoa setulus hati kepada Allah supaya Dia menerima nazanya:


“Terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS Âli ‘Imrân/3: 35).

Ketika bayi yang lahir ternyata perempuan—tidak seperti yang dia angankan—ibunda Maryam tetap menunaikan nazarnya seraya memohon kepada Allah untuk menjaga anaknya (Maryam) dari segala keburukan:


“Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk”
(QS Âli ‘Imrân/3: 36).

Kemudian Maryam puteri ‘Imrân, ibunda ‘ÃŽsâ al-Masî
h. Al-Qur`an menjadikannya ikon kesucian, pengabdian kepada Allah dan keyakinan akan ayat-ayat-Nya:

Dan Maryam puteri ‘Imrân yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat
(QS al-Tahrîm/66: 12).

Islam tidak mengkhususkan tanggal tertentu untuk merayakan hari ibu, sebab Islam memuliakan ibu sepanjang hayatnya, bahkan setelah kematiannya. Adalah kewajiban para anak untuk memuliakan, berbuat baik, dan menjaga ibu mereka setiap saat, setiap waktu. Ibulah yang mengandung, melahirkan, mengasuh, mendidik, berjuang, berkorban, dan menanggung banyak beban demi kebahagiaan anak-anaknya. Ibu selalu menjaga nikmat yang dianugerahkan Allah, yakni nikmat
umûmah (keibuan), membimbing dan meluruskan anak-anaknya agar mereka tumbuh menjadi generasi yang unggul berbekal iman, kasih-sayang, kebaikan, kemurahan hati, dan kesetiaan yang total terhadap kebenaran. Seorang ibu begitu berharga dan mulia, selamanya. Tidak ada pilihan selain memuliakan dan berbuat baik kepadanya, setiap saat—baik selagi ia masih hidup maupun setelah meninggal.

Kata-kata berikut kiranya dapat menggambarkan sosok ibu:


Ibu: Perasaan yang lembut, batin yang halus, jiwa yang peka, air mata bahagia, keindahan, ketegaran, dan ketangguhan.


Ibu: Padanan kehidupan, tempat mengadu, tiang pancang tegaknya banyak urusan, penentu damainya rumah, dan kunci kesuksesan.


Ibu: Kebeningan hati, kesucian batin, kesetiaan, ketulusan, kasih-sayang, kebaikan, kesungguhan, pengorbanan, dan ketulusan.


Ibu: Makhluk paling tegar, jiwanya paling berharga, perasaannya paling halus, kakinya paling tangguh, pribadinya paling mandiri, tekadnya paling teguh, tangannya paling pemurah, dan dadanya paling lapang.


Ibu: Teman terbaik di kala susah, sahabat terdekat di saat senang.


Ibu: Sumber kasih-sayang, perhatian, dan kebaikan tanpa batas; penunjuk jalan iman dan ketenangan jiwa, sumber ketenangan dan rasa aman, cahaya kehidupan, dan cinta tak berbatas.


Kata-kata sepanjang apa pun dan lembaran-lembaran sebanyak apa pun, tidak akan cukup untuk menghitung keutamaan ibu serta semua haknya untuk mendapatkan penghormatan, pemuliaan, perlakuan baik dan pengabdian. Namun mungkin kita bisa menyimpulkan sosok ibu dalam kata-kata singkat ini:


“Ketulusan dan pengorbanan dalam keseluruhan bentuk dan maknanya.” Al-Qur`an memberikan perhatian khusus terhadap ibu dan menyuruh manusia untuk memerhatikannya. Perhatian khusus itu diberikan terutama karena ibu telah menanggung banyak beban demi kelangsungan dan kebahagiaan hidup anak-anaknya. Allah telah memerintahkan berbakti kepada ibu, melarang mendurhakainya, dan mengaitkan ridha-Nya dengan ridha ibu. Nabi Saw. pun mewanti-wantikan tentang hak ibu. Dibanding ayah, ibu lebih berhak untuk mendapatkan budi baik dari anak-anaknya. Dalam hal ini, keutamaan ibu atas ayah dikarenakan dua hal:
 

Pertama
, ibu menanggung beban mengandung anak, melahirkan, menyusui, mengurus, mengasuh, dan mendidiknya. QS Luqmân/31: 14 menegaskan hal ini.

Kedua
, fithrah kasih sayang, kelembutan, cinta, dan perhatian ibu lebih besar dari ayah.

Di antara bukti betapa besarnya kasih sayang ibu adalah bahwa betapa pun durhakanya seorang anak kepada ibunya, ibu akan melupakan kedurhakaan anaknya itu ketika sang anak tertimpa musibah atau mendapat kesulitan hidup. Tidak ada seorang pun yang mampu menghitung atau menakar hak orang tua atas anak-anaknya. Di antara dua orang tua, ibulah yang lebih berhak atas segala pengabdian, budi baik, pemuliaan dan penghormatan anak.


Islam sangat menjunjung tinggi dan mensucikan hubungan atau ikatan dengan ibu. Untuk menjaga kesucian ini, Islam mengharamkan menikah dengan ibu:


Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu
(QS al-Nisâ`/4: 23).

Dengan tegas Islam menyatakan bahwa ikatan suami-istri tidak akan pernah berubah menjadi ikatan anak-ibu. Sangat jauh perbedaan antara keduanya:


Dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu
(QS al-Ahzâb/33: 4).

Ada baiknya di sini ditampilkan kata-kata para tokoh dan sebagai seorang anak tentang sosok ibu :


“Keibuan adalah anugerah terbesar yang Tuhan peruntukkan bagi kaum perempuan” (Marry Hopkins).


“Tidak ada di dunia ini bantal yang lebih lembut dari pangkuan ibu” (Shakespear).


“Aku tidak akan menamaimu wanita. Aku akan menamaimu segalanya” (Ma
hmûd Darwîsy).

“Ibu adalah segalanya dalam hidup ini. Dia adalah pelipur lara dalam kesedihan, pembawa harapan dalam keputusasaan, dan kekuatan dalam kelemahan” (Kahlil Gibran).


“Tanpa ibu, umat tidak akan ada. Karena ibulah umat ada” (Khalil Mathran).


“Jika dunia ada di tangan yang satu dan ibu di tangan satunya lagi, pastilah aku pilih tangan di mana ibu berada” (Jean Jaques Rouseou).


“Ibulah yang menggoyang ayunan dengan tangan kanannya dan mengoyang (mengguncang) dunia dengan tangan kirinya” (Napoleon Bonaparte).


“Di dunia, hanya satu yang lebih baik dari istri; ibu” (Syafir).


“Tidak ada dalam hidup ini seorang perempuan yang menghibahkan seluruh hidup, kasih sayang dan cintanya tanpa meminta imbalan, selain ibu. Maka berilah ia, ya Tuhan, umur yang lebih panjang dari umur manusia” (Schuber).


“Satu-satunya tempat di mana aku dapat menyandarkan kepala padanya dan tidur di dalamnya dengan tenang dan nyaman, adalah pangkuan ibu” (Voltaire).


“Ketika aku menunduk mencium tanganmu, mencucurkan airmata di dadamu, dan menangkap tanda rela dari sorot matamu; hanya ketika itu aku merasakan kesempurnaan diri sebagai seorang laki-laki” (Islam Syamsuddîn).


“Tak ada sesuatu pun di dunia yang lebih manis dari hati ibu” (Martin Luther).


“Anda boleh melupakan segala hal tentangku, kecuali apa yang telah diajarkan ibu kepadaku” (Nixon).


“Ibu selalu mencintai dan hanya mengetahui cinta” (Cyrus).


“Seandainya seluruh semesta menjadi kecil, maka ibu akan tetap besar” (Victor Hugo).


“Segala yang dikerahkan oleh para bapak tidak akan sebanding dengan satu kasih sayang saja dari kasih sayang ibu yang tanpa batas” (Voltaire).


“Lantunan terlembut dan senandung terindah hanya dapat diberikan oleh hati ibu” (Bethoven).


“Saat paling bahagia bagi seorang wanita; saat dimana ia merasakan kesejatian dan keabadian dirinya sebagai wanita serta sebagai ibu, adalah saat ia melahirkan” (‘Abbâs Ma
hmûd al-‘Aqqâd).

Puisi Ibu karya Chairil Anwar


Puisi Ibu Karya Chairil Anwar

Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai

Ibu…..

Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah

Ibu…..

Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
Dan Bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan

Namun…..
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu….

Ibu….

Aku sayang padamu…..
Tuhanku….
Aku bermohon padaMu
Sejahterakanlah dia
Selamanya…..

Puisi Ibu Karya Chairil Anwar yang sangat menyentuh hati sehingga bagi orang yang membacanya akan sedikit membuat mata berkaca kaca di sebabkan mirisnya kata kata yang sangat dalam menyentuh hati kita mengingat besarnya pengorbanan untuk sang anaknya.

Memang tidak di ragukan lagi akan hasil karya sang penulis legendaris ini banyak hasilkarya nya di cari orang yang suka akan sebuah puisi. selain puisi tentang ibu banyak juga yang lainya yang di tulis oleh Chairil Anwar tentu berbagi judul seperti puisi alam,cinta,sahabat dan masih banyak yang lainya.

Jika kita membahas pengorbanan seorang ibu maka tidak akan ada habis-habisnya,maka dari itu sayangilah seorang ibu selagi dia masih ada, semoga ada manfaatnya , terimakasih 

LATIHAN PEND ISLAM PMR


Seseorang yang mahu kan kejayaan yang cemerlang mestilah banyak membuat latihan dan tidak cepat putus asa. Oleh itu, ayuh , pelajar PMR kita men-download latihan-latihan soalan PMR di link bawah ini. Mana la tahu keluar salah satu soalannya daripadanya. Tak rugi kita. Tekan di tulisan yang bergaris :)

LATIHAN PENDIDIKAN ISLAM PMR  :


Jangan Merasa Lemah !



Bagi sesiapa yang pernah menyelak helaian buku Ma’alim Fit Toriq ataupun dalam bahasa Melayunya, Petunjuk Sepanjang Jalan karya As-Syahid Sayyid Qutb, pasti akan menemui ayat Al-Quran berkaitan dengan tema perbincangan kita ini di dalam tajuk yang dinukilkan dalam bukunya itu, iaitu Keagungan Iman.
Ayat Al-Quran yang dimaksudkan adalah firman Allah s.w.t. di dalam surah Al-Imran, ayat 139 yang bermaksud :
“Dan janganlah kamu merasa lemah dan janganlah (pula) bersedih hati. Dan kamulah orang yang paling tinggi (darjatnya) sekiranya kamu orang-orang beriman.” [Al-Imran : 139]
Ayat ini berkait rapat dengan peristiwa Uhud, ketikamana tentera Islam mula alpa dan leka di saat mereka sudah mula mendapatkan kemenangan, maka tentera kuffar ketika itu mengambil peluang untuk menyerang balas semula mereka sehingga ramai di kalangan mereka mengalami kecederaan termasuklah Rasul s.a.w. yang mengalami kecederaan yang teruk.
Ayat ini menjadi pemujuk dan sumber kekuatan agar orang-orang beriman tidak berundur dari perjuangan mereka meskipun mereka mengalami banyak kerugian dan ramai yang mati syahid.

Perjuangan Sentiasa Ada Pahit Getirnya, Tidak Ada Perjuangan Yang Mudah

Perjuangan untuk menegakkan kebenaran tidak akan sentiasa mudah. Jalannya tidak dibentang karpet merah apalagi dihidang dengan anggur dan buah-buahan enak bagaikan para pembesar di istana. Bahkan, jalannya sentiasa akan dicabar dan diuji dengan pelbagai macam mehnah dan kesusahan.
Para Nabi, para sahabat, salafussoleh serta para pendakwah yang telah lebih awal mendahului kita, mereka telah menempuh kesusahan dan kepayahan itu. Barangkali ada yang syahid di pertengahan perjuangan, tidak sempat menyaksikan hasil akhir perjuangan, namun itu tidak pernah menjadi penyebab untuk mereka yang masih hidup berputus asa dan tidak meneruskan lagi perjuangan.
Nabi s.a.w. yang menjadi kecintaan para sahabatnya pun meninggalkan para sahabatnya sehingga para sahabat menangis kesedihan, sehingga Umar pun hilang pertimbangan untuk seketika kerana terlalu sedih, namun perjuangan Islam, dakwah Islam tetap diteruskan selepas itu. Tidak berhenti. Mereka tidak berhenti dan berputus asa meski Nabi tiada lagi di sisi.
Ketika mereka berjuang bersama-sama Nabi s.a.w., membawa risalah Islam di dalam masyarakat Makkah, bukan mereka tidak tahu yang mereka pasti akan menghadapi cabaran dan rintangan daripada masyarakat mereka. Namun, kerana cinta mereka kepada Allah dan Nabi-Nya mengatasi segalanya, maka tidak ada yang dapat menghalang mereka bersama dalam gerabak perjuangan Nabi s.a.w. untuk memahamkan manusia tentang Islam.
Ketika mereka berjuang juga, tidaklah mereka itu dapat mengagak yang satu hari nanti mereka akan dapat membuka dan membersihkan semula Kota Makkah, mereka juga tidak pernah diberitahu oleh Tuhan atau Nabi seawal  mereka masuk Islam, bahawa kalau mereka ini bersama dengan perjuangan Islam, nescaya Allah akan memenangkan mereka di dalam Perang Badar dan banyak lagi peperangan yang lain. Natijah perjuangan itu mereka letakkan pada Allah dan mereka berusaha sekuat daya sehinggalah mereka mati di atas jalan perjuangan itu.
Tidak mudah untuk memiliki kekuatan jiwa sedemikian. Untuk tetap terus bertahan dan bersabar di medan perjuangan kala ujian, cabaran, tohmahan dan fitnah menghujani kita, ia perlukan lebih dari sekadar kekuatan tubuh fizikal.

Jangan Sampai Kelemahan Dan Kesedihan Membantutkan Perjuangan

Manusia bukan robot. Sekali-sekala berada dalam perjuangan sedemikian, ia pasti diuji dengan rasa lemah dan sedih.
Rasa lemah kerana kehilangan orang tersayang. Sedih kerana keluarga kesayangan telah syahid dalam perjuangan. Rasa lemah kerana diri cepat betul lalai ketika berseorangan. Rasa sedih kerana orang-orang yang lemah dan tidak bersalah terus-menerus dizalimi. Rasa lemah kerana memikirkan keterbatasan dan kemampuan diri. Rasa sedih kerana dunia muslim yang bergolak dan ramai pula muslim yang murah maruah dirinya.
Rasa lemah kerana usaha dakwah kita dikritik dan dihentam oleh orang. Rasa sedih kerana dakwah tidak bersambut.
Lantas, apakah dengan rasa sedih dan rasa lemah ini kita akan berhenti daripada meneruskan jejak perjuangan kita selama ini? Apakah rasa sedih dan lemah kerana ujian yang kita hadapi ini akan membunuh semangat dan kesungguhan kita dalam berjuang?
Maka, ayat 139 daripada surah Al-Imran yang telah disebutkan di awal tadi sangat signifikan sebagai pemujuk kala kita merasa lemah dan sedih.
Sayyid Qutb menyebutkan dalam tafsirnya Fi Zilalil Quran berkaitan dengan ayat ini yang bermaksud :
“Sekiranya kamu adalah orang yang benar-benar beriman, maka janganlah merasa lemah dan merasa sedih. Adalah menjadi sunnatullah kita akan diuji dan teruji, dan bagi kamu itu ada kerehatan selepas jihad (bersusah-payah), ujian dan tapisan sebagaimana firman Allah :
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami gilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan antara orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebahagian kami dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim. Dan kerana hendak membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang kafir.” [Al-Imran : 140-141]

Penutup : Tetaplah Terus Mara Ke Depan !

Bila kita melibatkan diri dalam perjuangan Islam, bukanlah kita ingin mengutip habuan atau kepentingan untuk diri kita semata-mata.
Tetapi, kita melibatkan diri dalam perjuangan Islam adalah kerana kita ingin memenangkan Islam.
Kita tidak akan pernah tahu apakah hasil di hujung perjuangan itu. Kita memang mengharapkan kemenangan akhir adalah milik Islam, tetapi kita tidak akan pernah tahu apakah ketika kemenangan akhir itu dicapai, ia berlaku di zaman kita atau di zaman-zaman selepas kita.
Sebab itu, janganlah merasa lemah dan dukacita andai perjuangan kita sekarang tidak menampakkan hasil kemenangan yang besar. Kerana perjuangan Islam ini bersifat nafas panjang, maka kalau pun kemenangan itu tidak dicapai di masa kita, sekurang-kurangnya kita menjadi salah satu penyebab ke arah kemenangan itu yang mungkin berlaku pada zaman selepas kita.
Tetaplah terus mara ke depan.
Walau diuji, jatuh berkali-kali, jangan lelah untuk terus bangkit dan meneruskan jejak perjuangan.
Di kala kita menghadapi kesulitan di jalan perjuangan, pasti ada kemanisan dan kebahagiaan yang Allah hadiahkan.
Jangan lelah untuk terus mara ke depan !

Muslimah Di Era Perjuangan


Barangkali kalau kita memperkatakan tentang seorang lelaki muslim dan perjuangan, kita akan melihat ramai tokoh-tokoh dalam sirah seperti Nabi s.a.w. sendiri, Abu Bakar as-siddiq, Umar Al-Khattab, Khalid Ibn Walid, Uthman Affan, Ali bin Abi Tolib, Saad Abi Waqqas, Abu Ubaidah Al-Jarrah dan ramai lagi para sahabat Nabi s.a.w.
Ya, itu biasa di dalam masyarakat kita.
Namun, bercakap soal muslimah dan perjuangan, seakan-akan ia menjadi satu perkara yang begitu asing dalam masyarakat kita. Seakan-akan bila kita berbicara tentang muslimah, muslimah itu dilihat dalam konteks yang sempit seperti mestilah bersikap lembut atau lembik (?), jalan menunduk, tidak banyak bicaranya, tidak boleh bersikap kritikal dan melawan dalam banyak hal dan harus selalu berada di dapur. Inilah yang ada di dalam pemikiran segelintir besar lelaki dan juga wanita sendiri.
Seakan-akan bila kita berbicara tentang muslimah, tidak ada tokoh wanita di dalam sirah untuk dicontohi sedangkan tokoh sahabiah (wanita muslimah) di zaman Nabi tersangatlah ramai.
Wanita di zaman Nabi s.a.w. adalah wanita muslimah yang tidak dapat dipisahkan dengan istilah perjuangan. Di kalangan mereka bahkan terdapat ramai tokoh yang hebat. Bermula sejak awal perjuangan Nabi s.a.w. sendiri, wanita telah mempunyai tokoh yang hebat menjadi sayap perjuangan Nabi di dalam mengembangkan dakwah Islam, iaitu Khadijah binti Khuwailid.
Juga ada ramai lagi tokoh di kalangan mereka seperti Aisyah binti Abu Bakar, Asma’ binti Yazid, Ummu Salamah, Khaulah, Nusaibah binti Kaab, Fatimah binti Muhammad s.a.w. dan ramai lagi para sahabiah Nabi s.a.w. yang lain.

Memberi Suntikan Kekuatan Kepada Fitrah Perempuan

Barangkali kerana unsur penciptaannya, kadangkala menjadikanwanita muslimah merasa dirinya lebih rendah daripada seorang lelaki.
Ya, kan?
Kalau seorang lelaki itu punya kekuatan tubuh dan juga semangat kelelakiannya untuk dikerahkan demi sebuah perjuangan, pada wanita pula selalunya disangka dengan fitrah penciptaan dirinya yang tidak sekuat kudrat lelaki akan membuatkan dia selalu merasa tidak punya apa-apa kekuatan untuk diserahkan kepada perjuangan.
Pada hakikatnya, wanita dengan fitrah penciptaannya itu yang mungkin tidak sekuat kudrat lelaki atau tidak punya semangat seperti seorang lelaki di dalam jiwanya, mempunyai kekuatan yang tersendiri dalam mengembangkan sayap perjuangannya.
Tidakkah kita telah melihat bagaimana besarnya peranan wanita-wanita bukan Islam dalam mengembangkan dakyah dan pengaruh mereka di serata dunia? Bukankah mereka juga seorang wanita yang diciptakan dengan fitrah kewanitaan? Lalu, apakah yang membuatkan pengaruh mereka bisa begitu luas sekali walaupun kudrat mereka tidak seperti seorang lelaki, jiwa mereka tidak setahan jiwa seorang lelaki?
Wanita muslimah juga mampu sebenarnya. Tinggal lagi barangkali dengan fitrah penciptaan dirinya yang bersikap pemalu (kebiasaannya) ditambah lagi dengan kefahaman yang kurang mendalam terhadap nas Al-Quran dan hadis berkaitan dirinya (yang selalu membuatkan dirinya merasa risau akan salah bertindak jika mencanggahi kefahaman nas), juga dengan suasana masyarakat yang kurang memberikan dokongan terhadap penglibatan muslimah dalam perjuangan Islam, menyebabkan sesetengahnya selalu mengambil sikap untuk berdiam diri sahaja dan tidak mengekspresikan pendapat dirinya kala menghadapi suasana perbezaan.
Fitrah perempuan yang diciptakan oleh Allah dengan penuh keindahan ini perlu disuntik dengan kekuatan kefahaman Islam, disuntik dengan kekuatan perancangan serta dorongan yang rapi agar perjuangan Islam di sisi wanita berjalan dan berkembang dengan lebih pesat.
Jika jahiliah mengedepankan tokoh-tokoh wanita mereka dan sentiasa mengkaderkan tokoh-tokoh baru dalam mengembangkan sayap jahiliah, maka wanita muslimah sudah tentulah harus lebih serius dalam hal ini agar dapat melebarluaskan lagi sayap perjuangan Islam.
Benar, kita juga tidak kurang tokoh muslimah masa kini, tetapi belum mencukupi !
Kita perlukan lebih ramai muslimah yang bisa terlibat serius berfikir, bekerja dan berani untuk sentiasa ke hadapan di dalam perjuangan Islam.

Penglibatan Wanita Muslimah Di Zaman Nabi Dalam Perjuangan Islam 

Dalam usaha mengembangkan dan mempertahankan perjuangan Islam, muslimah di zaman Nabi s.a.w. memainkan peranan yang tidak kurang pentingnya. Di kalangan mereka terdapat ramai tokoh-tokoh besar yang telah memainkan peranan penting dalam menjadi tiang kepada episode perjuangan Islam.
Khadijah binti Khuwailid umpamanya, adalah seorang saudagar yang kaya raya. Episod kehidupannya dengan Nabi menjadi saksi bahawa Khadijah telah mempertaruhkan segala kekayaan dan hartanya demi perjuangan Islam yang dibawa oleh Nabi s.a.w. Tidak hanya itu, beliau juga telah menjadi wanita yang sentiasa memberi dorongan dan kekuatan untuk Nabi tetap yakin dengan pilihan Allah ke atas dirinya sebagai Nabi dan Rasul di saat awal Nabi menerima wahyu yang telah membuatkan dirinya merasa takut dan gementar.
Tidaklah mudah bagi seorang isteri semisal Khadijah untuk menjadi pendokong kepada perjuangan Nabi s.a.w. di zaman yang mentaliti orang ramai yang masih sukar untuk meninggalkan kepercayaan mensyirikkan Allah s.w.t., meninggalkan perbuatan yang menghinakan perempuan, meninggalkan riba dan tipu helah dalam jual beli. Tidaklah mudah menjadi seorang isteri kepada seorang Nabi yang harus memulaka  satu perjuangan yang bercanggahan dengan apa yang sedang dianuti oleh masyarakatnya. Isteri harus kuat untuk terus menyokong suaminya.
Tetapi itulah yang telah dilakukan oleh Khadijah.
Di dalam sirah perjuangan wanita di zaman Rasul s.a.w. juga, mereka mempunyai tokoh yang tidak kurang hebat iaitu Asma’ bt Yazid. Beliau dikenal sebagai khatibatun nisa’ (wanita sang jurucakap) kerana selalu mewakili golongan wanita terutamanya wanita Ansar dalam memperjuangkan isu-isu wanita.
Pernah sekali beliau bercakap bagi golongan wanita muslimah, bertanya perihal ganjaran wanita kerana ketidakmampuan mereka untuk turut serta dalam kebanyakan pekerjaan yang dilakukan oleh lelaki.
Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah utusan bagi seluruh wanita muslimah di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan pendapatku.  Sesungguhnya Allah Taala mengutusmu bagi seluruh lelaki dan wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan membai`atmu.  Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami.  Kami menjadi penjaga rumah tangga kaum lelaki, dan kami adalah tempat memenuhi syahwat mereka, kamilah yang mengandung anak-anak mereka, akan tetapi kaum lelaki mendapat keutamaan melebihi kami dengan solat jumaat, menghantar jenazah dan berjihad.  Apabila mereka keluar untuk berjihad kamilah yang menjaga harta mereka, yang mendidik anak-anak mereka, maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?
Mendengarkan pertanyaan tersebut, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada para sahabat dan bersabda :
Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang Deen yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”. 
Para sahabat menjawab,“Benar, kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!.”
Kemudian Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kembalilah wahai Asma` dan beritahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu bahawa perlakuan baik salah seorang diantara mereka kepada suaminya, dan meminta keredhaan suaminya, mengikuti (patuh terhadap) apa yang disuruhnya (selagi tidak melanggar syara’), itu semua setimpal dengan seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum lelaki”. [HR Ahmad]
Saya tidak memfokuskan sangat kepada isi hadis ini, tetapi fokus kepada keberanian dan kebijakan Asma’ bt Yazid dalam menuntut hak bagi wanita agar mereka juga memiliki peluang berada di kedudukan tinggi di sisi Allah s.w.t. sebagaimana yang dimiliki oleh lelaki.
Di saat mentaliti masyarakat yang sebelum itu terbiasa memandang wanita itu hanyalah sebagai objek untuk dipergunakan, maka ketrampilan Asma’ dalam isu kewanitaan merupakan simbolik kepada sebuah ketokohan.
Ada lebih ramai sahabiah Nabi yang kalau dibicarakan, kita pasti akan menemui contoh penglibatan yang aktif dalam perjuangan Islam daripada pelbagai aspek. Mereka menjadi tokoh dan contoh yang baik di dalam masyarakat. Saidatina Aisyah umpamanya adalah tokoh ilmuan yang menjadi rujukan masyarakat. Nusaibah binti Kaab yang pernah terlibat dalam perjanjian Aqabah, Perang Uhud dan lain-lain adalah antara tokoh besar muslimah juga di zaman Nabi s.a.w. Jangan dilupakan Sumayyah, tokoh pertama yang merupakan seorang wanita yang syahid di dalam Islam.

Penutup : Keperluan Kepada Para Pejuang Muslimah Yang Berpotensi Di Pelbagai Bidang

Dr Yusuf Al-Qaradawi dalam salah satu tulisannya yang bertajuk Al-Harakah Wal Amal An-Niswi (Gerakan Islam dan Amal Kewanitaan) telah menyebutkan bahawa gerakan wanita yang berjuang untuk Islam harus diasingkan daripada berada di bawah kekuasaan dan arahan lelaki agar ia mampu berkembang ke tahap yang lebih jauh. Beliau menyebutkan contoh yang telah dilakukan oleh As-Syahid Imam Hasan Al-Banna yang telah menubuhkan Qismul Akhawat Al-Muslimat (Bahagian Akhawat Muslimah) di dalam gerakan Ikhwanul Muslimin agar wanita dapat melibatkan diri secara aktif dalam perjuangan Islam, juga agar mereka dapat melatih kompetensi dan gerak kerja yang kemas dalam perjuangan Islam sebagaimana yang dilaksanakan oleh lelaki.
Keperluan kita kepada tokoh-tokoh baru muslimah yang berjuang untuk Islam dalam pelbagai bidang  sangatlah tinggi di era ini. Bahkan keperluan itu sebenarnya telah dirasai sejak era lepas lagi tinggal lagi belum dilihat secara kritikal di masa lepas.
Pada masa kini, persaingan dengan jahiliah yang tidak kurang menampilkan ramai tokoh-tokoh wanitanya dalam pelbagai bidang tidak kiralah sama ada di bidang kesenian, bidang isu-isu kewanitaan, isu kemasyarakatan, bidang akademik, bidang kesihatan dan sebagainya menjadi satu cabaran besar buat muslimah kita dalam meletakkan diri mereka sesuai dan kekal relevan dengan arus realiti dunia hari ini.
Saya tahu, di luar sana masih ada ramai wanita muslimah berpotensi yang memiliki kefahaman Islam yang baik, memiliki akhlak yang tinggi, berpotensi besar, tinggal lagi perlu disuntik dengan semangat dan bekal kekuatan agar dapat menjadi bukti di dalam masyarakat bahawa muslimah juga dapat memainkan peranan yang tidak kurang pentingnya dalam perjuangan Islam.
Untuk menghasilkan natijah sebegitu, maka tidak dapat tidak peranan muslimah itu sendiri dalam menggerakkan dirinya sangatlah penting. Keseriusan pembinaan kemahiran diri dan ketrampilan di dalam masyarakat, kesungguhan dalam berfikir dan berjuang adalah antara faktor penting untuk sentiasa diperhatikan oleh seorang muslimah.
Muslimah sejati bukanlah seorang yang cuma seronok dilihat dirinya itu cantik apalagi senang dilihat sebagai seorang yang lemah, tetapi seorang yang mampu memberi manfaat untuk ummah !